Minggu, 11 September 2016

Idul Adha Terakhir

cerpen (Kedaulatan Rakyat, Minggu 11 Sept 16)

TIGA hari sebelum menghembuskan napas terakhir, ayah yang terbaring tak sadarkan diri selama beberapa hari di bangsal rumah sakit, tiba-tiba mengigau. Hanya satu kata yang keluar dari bibir ayah, "Kambing."
   
Kami -tiga anak ayah, dan ibu- saling pandang. Seperti ada satu keajaiban yang turun dari langit. Kami seperti dibuai harapan bahwa ayah telah sadar. Pasalnya, ayah yang koma selama berhari-hari, bahkan tidak bergerak, kecuali detak jantungnya yang berdegup pelan, tiba-tiba bersuara -walaupun tak jelas dan samar. Sontak, kami yang kebetulan ada di dekat ayah langsung beringsut mengelilingi tempat ayah terbaring.

baca lebih lanjut...?

Minggu, 04 September 2016

Tiga Wanita yang Menangis untuk Sebuah Kematian

cerpen (Solo Pos, Minggu 28 Agustus 16)

SEPULUH tahun yang lalu, isak tangisku memecah gulita malam. Ada rasa hampa yang mengisi rongga dadaku, yang membuat kisah sedih terasa semakin mendidih dan kekal. Aku seperti patung yang dirayapi sepi dan dingin, masih menangis, dan terjaga sendiri. Hening seperti memadat meski detak jarum jam di dinding berdenyut ritmis bagai benda ajaib yang bernapas. Dan lelaki di sampingku masih meringkuk setengah telanjang, dan mendengkur. Temaram lampu kamar menyala redup, membingkai waktu seperti merambat dengan lambat. Tak lagi kuingat, bagaimana pesta pernikahan yang megah itu berakhir setelah orang-orang pulang.
   

baca lebih lanjut...?

Sabtu, 30 Juli 2016

Tanggung Jawab Moral Penulis Biografi

Satu tahun yang lalu (tepatnya tanggal 7 Agustus 2015), aku menerima "sebuah e-mail" dari seseorang yang tidak kukenal. E-mail tersebut diberi judul "permohonan". Dari judul yang dibuat, rasanya tidak ada yang menarik untuk kubaca lebih jauh. Sejenak aku berpikir: ah, ini paling-paling surat elektronik dari seseorang yang ingin minta sumbangan, atau bisa jadi surat elektronik dari orang di luar negeri untuk minta bantuan kepadaku lantaran dia dinikahi orang asing, lalu suaminya meninggal (biasanya kecelakaan), dan dia memiliki dana cukup besar yang ditawarkan kepadaku untuk bisa kurahasiakan.

baca lebih lanjut...?

Minggu, 12 Juni 2016

Aroma Kematian

cerpen (Tribun Jabar Minggu 12 Juni 16)
   
TEPAT tengah malam, ustadz Ma`ruf terbangun. Samar-samar, dia merasakan tanah di bawah ranjang seperti retak, seakan bumi digoncang gempa. Keringat membasahi dahi, kening, dan punggungnya. Apalagi, setelah dia mendengar suara aneh yang tiba-tiba menelusup telinga. Suara ganjil yang terdengar seperti tubrukan dua benda asing yang beradu, dan menimbulkan suasana mencekam dan menakutkan.

baca lebih lanjut...?

Minggu, 20 Desember 2015

Tikus


cerpen (Solo Pos, Minggu 20 Desember 15)

SUDAH lama Ibrahim bermimpi punya rumah. Rumah sederhana, yang tak terlalu besar, asal bisa membuat dia tidur nyenyak sepulang dari kerja. Itu sudah cukup. Rumah yang membuat Ibrahim tak lagi mengontrak, tak pindah dari satu kampung ke kampung lain. Apalagi, sejak Ibrahim menikah enam tahun lalu. Mimpi itu pun melintas kuat di otak Ibrahim.

baca lebih lanjut...?

Minggu, 09 Agustus 2015

Uang Bau Tanah

Cerpen (KR, Minggu 9 Agustus 15)

SEJAK satu bulan yang lalu, Haikal sudah berjanji tak akan menyentuh uang itu lagi. Uang yang ia sebut-sebut uang bau tanah, dan telah membuat celaka dua orang yang telah dia tolong dengan tulus. Tetapi, pagi ini Haikal bimbang.

baca lebih lanjut...?

Sabtu, 27 Juni 2015

Setengah Jam Setelah Pemakaman

Cerpen (Tabloid Cempaka edisi 14, 27 Juni - 3 Juli 2015)

AKU tiba di rumah mertuaku, setengah jam setelah pemakaman. Aku datang terlambat, tepat saat orang-orang kampung baru saja pulang dari tempat pemakaman umum. Aku turun dari ojeg, lantas melangkah dengan menunduk. Di halaman rumah mertuaku, aku melihat ceceran bunga, terpal yang meneduhi rumah dan deretan kursi yang kosong. 

baca lebih lanjut...?